CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Rabu, 07 Januari 2009

Dobrak

Catatan Oposisi
==============

Menanti, …Badai di Tengah Bisingnya Kehidupan

Kita datang dari peradaban purba, dimana ratusan tahun lalu nenek
moyang bangsa kita bangun termegap-megap dari rimba kedunguan,
kepandiran dan segala ketololan mereka. Ratusan tahun yang lalu pula
setelah melewati tidur panjang yang akut pada sebuah jaman yang gelap,
mereka mampu bangun dengan cita-citanya yang besar. Jayalah Nusantara
pada jaman Majapahit dan Sriyijawa.

Kejayaan yang pernah mereka bangun dan citakan ternyata tidak bertahan
lama. Merosotnya moral dan peradaban purba kembali menyelimuti mereka,
karena memang bibit-bibit peradaban purba yang sepertinya telah
mendarah daging itu tidak bisa dibasmi begitu saja. Dengan naiknya
raja-raja lokal ke tahta kuasa yang hanya membawa
pertikaian-pertikaian yang berkelanjutan hanya membawa mereka kembali
ke jaman purba yang dulunya pernah ditinggalkan para pendahulu mereka.
Datangnya kekuasan kulit putih dengan bedil dan logika mereka yang
jalan, tentunya membawa bangsa kita ke lembah pejajahan dan penindasan
yang sangat sedih dan memilukan. Tiga ratus lima puluh tahun kita
ditindas sampai modar minta ampun, barulah kita bangkit dengan sebuah
cita-cita yang luhur: Sebuah bangsa yang berpribadi dan merdeka!

Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tiga puluh dua tahun sekarang ini.
Setelah bangsa ini merdeka dari kolonialisme lima puluh tiga tahun
yang lalu. Sang Angkara Murka, sisa-sisa keakutan dari masa purba
unjuk gigi lagi setelah kudeta berdarah tahun ‘65 yang berbutut dengan
pembantaian saudara sebangsa dan setanah airnya sendiri. Adakah di
jaman moderen ini peradaban purba yang tidak mengenal logika dan akal
sehat bisa berkuasa lagi? Jawabannya adalah: Orde Baru!

Meniru salah satu ucapan Alber Camus, sastrawan Prancis yang namanya
harum dalam kesustraan dunia dan perjuangan kemanusiaan itu, Camus
berkata, “di dalam kebisingan di mana kita sekarang hidup, cinta
mustahil dan keadilan tak mencukupi”. Inilah hidup yang bising, antara
mimpi dan kenyataan sangat tipis bedanya.

Tiga puluh dua tahun kita hidup dibawah rezim yang menjalankan
kekuasaannya dengan menepiskan logika dan hati nurani. Kekuasaan yang
datang dari jaman purba. Tentunya di jaman yang penuh dengan logika
ini, adalah ibarat sebuah mimpi ada rezim yang seperti ini. Tapi
jangan tepiskan Bung, ini bukan sekedar mimpi. Ini sebuah kenyataan
yang pahit dan sangat tragik. Lima puluh tahun lebih bangsa ini
membebaskan dirinya dari kolonialisme, tapi bangsa ini belum mampu
membebaskan jiwa dan pikiran mereka dari mental perbudakan. Inilah
sebuah kenyataan dimana kita membiarkan diri dan hati nurani kita
ditindas oleh sebuah kuasa yang maha dasyat yang datang dari jaman
purba.

Seorang kawan yang penyair, Saut Situmorang dalam sajaknya ‘Badai
Penantian’ mencoba melukiskan perjalanan bangsa yang panjang dan
menyedikan ini, entah kapan berakhirnya. Bangsa yang hidup antara
mimpi dan kenyataan.

langit sunyi. terbakar
matahari, dan angin mati.
terpaku semua yang hidup di bumi.
menanti.

badai sembunyi di gunung gunung
badai sembunyi di hutan hutan
badai sembunyi di mata air
di danau danau di sungai sungai
badai sembunyi di kampung kampung gersang
di gunung gunung tumbang di hutan hutan arang
di tepi mata air polusi di tepi danau polusi di tepi sungai polusi
badai sembunyi di pantai pantai di laut sembilu
di kota kota hangus tak lagi dikenal
kota kecil kota besar
kotamu kotaku
badai sembunyi di rumah rumah berdinding beratap debu
di didih aspal jalanan
di kerikil kerikil tajam mimpimu
dalam lagu bosan anak anakmu
di uban pertama istrimu yang tak mau
lagi ketawa
badai sembunyi di aspal jalanan
kerikil kerikil tajam kampung kampung terlantar
kota kota terbongkar
yang milikmu yang milikku
badai sembunyi di kampus kampus wesel terlambat
di pabrik pabrik keringat menyengat
di penjara penjara berkakus tumpat lantai bau pantat
milikmu milikku milik kau dan aku
badai sembunyi di mata mata itu
yang tertunduk memandang bumi itu
di dada dada itu
yang tertunduk mendekap bumi itu
di kaki kaki itu
yang tertunduk menekuk bumi itu
di tangan tangan itu
yang terkepal menahan bumi itu
dan di kuburan pun sembunyi badai
antara nisan nisan berhuruf
merah jingga
dan bunga kemboja rusak daunnya

badai sembunyi di negeri ini
negerimu,
negeriku ini. dan

menanti. menanti.

Begitulah, dalam hidup yang bising ini, dibawah cekikan rezim yang
datang dari masa purba. Badai-badai bersembunyi dari Sabang-Merauke,
dari gunung-gunung yang mengalir ke sungai-sungai menuju samudra luas.
bersembunyi di desa-desa yang subur namun rakyat negeri ini miskin
melata menjadi kurban-kurban tumbal buat sebuah ambisi rezim yang
berkuasa yang bernama: pembangunan!

Sampai kapankah kita akan menanti? Apakah kita akan membiarkan bangsa
ini berlarut-larut tenggelam dalam peradaban purba yang hanya akan
mematikan daya hidup, dan akhirnya kita terkapar sunyi dalam tidur
panjang bersama kematian hati nurani kita.

Mungkin (?) memang hati nurani kita belum mati, dan rasanya tidak
perlu menunggu terlalu lama lagi, karena seperti kata kawan Saut bahwa
badai itu ada dimana-mana. Sekaranglah saatnya kita untuk bangun dari
setengah kematian ini. Bukankah dengan membiarkan segala kejahatan
yang diperbuat rezim ini selama tiga puluh tahun lebih kita telah
mengalami setengah kematian?

Buat kita yang hidup dalam jaman yang bising ini, kita-kita yang belum
mengalami kematian penuh dalam hati nurani kita. Bangkitlah kita untuk
menghadang dan merubuhkan rezim yang semakin akut ini. Tentunya kita
tidak salah jika berpihak pada akal sehat dan hati nurani kita. Itu
juga kalau kita tidak mau mati dan ambruk bersama rezim ini.

Ucok Dobrak Nasution

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hi Cok apa kabar lo? gw temen lama di Monash. email gw di anymatters@gmail.com. cheers